HERFAN, S.Ag (Qori’ Internasional)
“……..SEBAGIAN MIMPI SAYA SUDAH TERWUJUD”

“Kacang ninggalke lanjaran” itulah pepatah jawa yang tepat untuk menelusuri dan mengetahui latar belakang kehidupan tamu kita kali ini. Herfan, S.Ag sebuah nama yang singkat terlahirkan dari pasangan H.M. Said seorang qor’i yang cukup disegani dan Hj. Siti Khadijah di sebuah desa yang bernama Stowe Brang Kecamatan Utan Sumbawa Besar Nusa Tenggara Barat pada tanggal 10 September 1971. Kalau yang sering didengar dan dilihat tentang Sumbawa adalah sebuah wilayah yang penuh padang rumput nan menghijau dan banyak ternak serta terkenal dengan susu kuda liarnya. Akan tetapi daerah Stowe Brang tidaklah demikian. Suhu udara dan cuacanya panas lagi berdebu. Cuaca dan kondisi alam yang demikianlah yang kemudian membentuk karakter dan kemauan keras seorang Herfan cilik. Ditambah kehidupan keluarganya yang mana kedua orang tuanya adalah petani dan guru ngaji.
Pendidikan yang ditempuhnya dari pendidikan dasar sampai menengah beragam. Pendidikan dasarnya ditempuh di SDN VI Utan Sumbawa Besar dan lulus tahun 1984. Jenjang sekolah menengah pertama di selesaikan tahun 1987 di SMP Muhammadiyah Utan yang tidak jauh dari rumahnya. Sedangkan tingkat pendidikan atas di MAN Mataram dan diselesaikannya pada tahun 1990.

Cita-cita yang harus terwujud
Berbagai prestasi dan apa yang diraihnya saat ini bukanlah sesuatu yang instan. Banyak kisah suka dan duka serta perjuangan yang dialaminya. Semuanya berawal ketika kurang lebih 35 tahun silam, sambil mendekap sebuah radio yang menyiarkan secara live MTQ Tk Nasional yang saat itu berlangsung di NTB. Herfan kecil di saat itu membayangkan dan barandai-andai jika dirinya menjadi seorang qori’ terkenal. Kebetulan saat itu yang didengarnya adalah lantunan tilawah Muamar (yang kemudian menjadi qori’ internasional dan menjadi idolanya).
Untuk mewujudkan apa yang menjadi impiannya itu ia belajar dan nyantri kepada H. Abdul Gani yang tidak lain kakeknya sendiri. Beliau adalah seorang alim yang pernah lama belajar di Mekkah dan mempunyai santri banyak di wilayah Utan. Di samping orang yang terpandang dan mempunyai kekayaan yang banyak. Kakek Abdul Gani lah yang memberikan dasar-dasar tentang tilawah. Akan tetapi kesempatan untuk belajar dan mendapatkan bimbingan dari kakeknya tidak berjalan begitu lama. Karena beberapa saat kemudian Allah berkenan memanggil ke haribaan-Nya.
Untuk melanjutkan belajar tilawah sepeninggal kakeknya Herfan kemudian dibimbing dan diasuh oleh ayahnya sendiri yang memang juga mempunyai kemampuan di bidang tilawah atau qiro’ah dan hakim di berbagai musabaqah Al Qur’an. Yang demikian berlangsung sampai tiba saatnya meninggalkan daerah dan keluarga tercinta untuk hijrah ke Yogyakarta.

Yogyakarta dan capaian prestasinya
Selesai dan menamatkan belajar dari MAN dengan dilandasi motivasi untuk belajar ilmu dan meneruskan ke Perguruan Tinggi serta pertimbangan ada saudara di Jawa, bungsu dari 4 bersaudara (2 kakak laki-laki dan 1 perempuan) membulatkan niat dan tekad pergi merantau ke Yogyakarta yang pada tahun 1990-an masih terkenal dengan julukan Kota Pendidikan. Demi melanjutkan ilmu yang diperoleh di bangku aliyah maka dipilihlah Universitas Islam Indonesia (UII) Fakultas Syari’ah Jurusan Ahwalus Syakhsiyah. Gelar Sarjana Agama (S.Ag) diraihnya pada tahun 2000. Rentang waktu 10 tahun ternyata tidak dihabiskan di kampus. Sebab karena alasan ekonomi maka penikmat rujak ini harus memutuskan untuk ”time out” meninggalkan Yogyakarta menuju Batam.
Waktu tiga tahun di Batam digunakannya untuk memberikan pembinaan dan pelatihan tilawah pada sebuah yayasan yang bergerak di bidang sosial keagamaan. Setelah dirasa cukup bekal yang diperolehnya kembalilah Herfan muda ke Yogyakarta. ”Terus terang tujuan ke Batam semata-mata agar studinya bisa dilanjutkan walaupun tidak selesai tepat waktu dan alhamdulillah pihak kampus masih mau menerimanya kembali sebagai mahasiswa”, kenang Herfan kepada BAKTI.
Semasa kuliah inilah banyak kenangan yang dialami oleh Herfan hingga membawanya kepada kehidupan yang sekarang. Salah satunya perkenalannya dengan mahasiswi Universitas Ahmad Dahlan (UAD) yang juga tetangga kos. Sebab inilah yang kemudian menjadi ”takdir” bahwa Gunungkidul dan Yogyakarta adalah ladang amal. Karena disanalah ia membina keluarga bersama isteri tercinta Dwi Mini Astuti, S.Pd yang dinikahinya tahun 2002. Di Semanu (timur Wonosari + 8 km) terlahir Nabila Shofiatus Sholiha dan Nury Maulidatus Sholiha. Di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Gunungkidul mengabdikan dirinya sebagai Penyuluh Agama Honorer (PAH) dan mulai tahun 2010 diangkat menjadi pegawai negeri sebagai Penyuluh Agama Islam.
Talenta yang dimilikinya terus diasah. Keinginan untuk menggapai apa yang menjadi impian akhirnya mempertemukannya dengan Qori’-Qori’ah ternama diantaranya Hj. Marlina, Ustadz Anang Acil dan Muhammad Nur. Kepada mereka Herfan belajar dan mendapatkan bimbingan. Keseriusannya belajar tilawah dan kemudian mengikuti berbagai seleksi dan musabaqah Al Qur’an untuk menambah jam terbang dan semakin mengasah bakat yang dimilikinya.
Rekaman dan catatan prestasi yang ditorehkannya dan masih diingatnya antara lain juara I Adzan Tk Nasional pada Festival Wali Songo tahun 2003, juara I MTQ RRI dan TVRI tahun 2006, juara I STQ Nasional tahun 2007 di Jakarta yang kemudian mendapatkan hadiah berangkat ibadah haji dan mengantarkannya mengikuti MTQ Tk Internasional di Teheran Iran tanggal 7-17 Agustus 2007 dan menjadi juara favorit.
Kesempatan yang sangat berharga dialaminya pada acara kenegaraan dan bertemu dengan Presiden RI Susilo Bambang Yudoyono tatkala menjadi qori’ pada peringatan Maulud Nabi Muhanmmad SAW tahun 2008 di Istana Negara. Terakhir prestasi yang diraihnya adalah juara I MTQ Nasional ke 23 tahun 2010 di Bengkulu untuk cabang qiro’at sab’ah dan mewakili Indonesia untuk cabang yang sama di tingkat Internasional pada tahun 2010. Dan tentunya beberapa hasil kejuraan yang lain baik di tingkat kabupaten maupun provinsi.
Khusus untuk keberhasilannya pada MTQ Nasional di Bengkulu yang berlangsung dari tanggal 5-12 Juni 2010 lalu menjadi sejarah tersendiri bagi kafilah MTQ Yogyakarta dan tonggak pembinaan tidak hanya cabang tilawah/qiro’at sab’ah akan tetapi juga tahfizh, khat dan yang lainnya. Karena hampir 20 tahun nyaris tak ada prestasi yang bisa diraih kafilah MTQ/STQ Yogyakarta di even nasional. Terakhir tahun 1991 pada MTQ Nasional ke 16 di Yogyakarta memperoleh juara I cabang tilawah atas nama Marlina dan Chumaidi untuk cabang khat.
Tiga hal yang menjadi pertimbangan manakala kemudian banyak permintaan untuk menjadi pembina dan pelatih tilawah di berbagai tempat. Pertama, kemampuan dan prestasi seseorang pasti ada batasnya. Kedua, memberikan kemanfaatan pada orang lain dan ketiga, perlunya regenerasi. Oleh karena lembaga, instansi dan elemen masyarakat yang meminta untuk dilatih dijalaninya dengan senang hati. Diantaranya Telkom, AURI, BPD Yogyakarta, Masjid Syuhada, AMM dan di beberapa pondok pesantren. Bahkan setiap Senin sore bertempat di Masjid Agung Al Ikhlas Wonosari dengan tekun membimbing dan membagikan ilmunya bagi para peserta pembinaan dan pelatihan tilawah.
Di tengah keseriusan mempersiapkan buah hatinya (Shofi) menjadi penerusnya, lantas tidak menyurutkan niatnya dan mengurangi keinginan orang datang ke rumahnya untuk mendapatkan bimbingan langsung belajar tilawah. Bahkan lebih dari itu masih bisa berbagi waktu dengan memenuhi permintaan beberapa LPTQ provinsi dan kabupaten di Jawa maupun luar Jawa dalam mempersiapkan kafilahnya di ajang MTQ maupun STQ.
Lebih jauh ketika ditanyakan apa yang menjadi faktor atas berbagai keberhasilan dan prestasi yang diraihnya, penyuka lari pagi untuk menjaga staminanya tetap fit ini menyampaikan tiga hal yaitu tidak memasang target juara ketika mengikuti perlombaan, tampil tanpa beban dan senantiasa memohon do’a orang-orang yang mendukungnya.
Terakhir menutup perbincangannya dengan BAKTI, sambil menyitir sebuah hadits ”khoirukum man ta’allamal qur’ana wa ’allamahu” mengajak kepada umat Islam untuk mencintai Al Qur’an dan menyiapkan generasi Qur’ani di tengah gempuran kebudayaan dan informasi teknologi yang semakin dahsyat.


Sebuah Pencapaian


Kalau kamu berpikir untuk masa satu tahun,
tanamlah jagung...
Kalau kamu berpikir untuk masa 10 tahun,
tanamlah pohon...
Kalau kamu berpikir untuk masa 100 tahun,
didiklah anak...
Kalau kamu berpikir untuk masa 1000 tahun,
didiklah anak dengan Al Qur'an...

"Karena Al Qur'an akan memperpanjang usia dunia"

Untuk itu marilah bertekad :

"Kalau disana ada 1000 ustadz, sayalah orang yang ke-1000"

"Kalau disana ada 100 ustadz, sayalah orang yang ke-100"

"Kalau disana ada 10 ustadz, sayalah orang yang ke-10"

"Kalau disana ada satu ustadz, ITULAH SAYA"

Sekaten One Of Yogyakarta Cultural Strength




Sejarah Sekaten

Pada tahun 1939 Caka atau 1477 M, Raden Patah selaku Adipati Kabupaten Demak Bintoro, dengan dukungan para Wali membangun Masjid Agung Demak sebagai tempat ibadah dan tempat bermusyawarah para wali.
Salah satu hasil musyawarah para wali dalam rangka meningkatkan syiar Islam, selama 7 (tujuh) hari menjelang peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, diadakan kegiatan syiar Islam secara terus menerus. Supaya menarik pengunjung, dibunyikan 2 (dua) perangkat gamelan ciptaan Sunan Giri dengan membawa gendhing-gendhing tertentu ciptaan para wali, terutama Sunan Kalijaga.
Para pengunjung yang menyatakan ingin "masuk" Agama Islam setelah mengikuti kegiatan syi'ar Agama Islam tersebut dituntun untuk mengucapkan 2 (dua) kalimat syahadat (syahadatain). Dari kata syahadatain yang berarti dua kalimat syahadat itulah menjadi SEKATEN, akibat perubahan pengucapan, sebagai ISTILAH yang menandai kegiatan syiar agama Islam yang dilaksanakan selama 7 (tujuh) hari terus menerus menjelang sampai dengan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW mulai tanggal 5 sampai dengan 12 Maulud atau Robi'ul Awal setiap tahun.
Sekaten yang kemudian berkembang menjadi pesta rakyat tradisional terus diselenggarakan setiap tahun, seiring dengan tumbuhnya Kabupaten Demak Bintoro menjadi kerajan Islam, bahkan Sekaten menjadi tradisi resmi.
Demikian pula saat bergesernya Kerajaan Islam ke mataram serta Kerajaan Islam Mataram terbagi menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, Sekaten sebagai upacara tradisional keagamaan Islam masih terus diselenggarakan beserta pesta rakyat tradisional yang menyertainya.
Dari perkembangan penyelenggaraan Sekaten tahun demi tahun Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, pada pokoknya terdiri dari :
1. Dibunyikan dua perangkat gamelan, Nogowilogo dan Gunturmadu selama 7 hari berturut-turut kecuali Kamis malam sampai Jum'at siang di Kagungan Dalem Pagongan Masjid Gedhe Kauman Yogyakarta
2. Peringatan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW pada tanggal 11 Maulud malam, di Serambi Masjid Agung dengan pembacaan riwayat Nabi Muhammad SAW oleh abdi dalem sinuwun, para kerabat, pejabat dan rakyat Ngayogyakarta Hadiningrat
3. Pemberian sedekah Ngarso Dalem Sampeyan dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan berupa hajad dalem Gunungan dalam upacara Garebeg sebagai puncak acara sekaten peringatan Hari Kelahiran Nabi Muhammad SAW.